Aku
adalah satu dari kumpulan bintang yang bersinar sebagai ekor sang rembulan.
Terang dan menjadi idola ketika malam, apalagi kau, Sang Rembulan. Kau menjadi
bintang yang sebenarnya, dielukan para umat manusia, dan selalu didambakan
secara puitis di lembaran-lembaran kertas.
Ketika rembulan menghilang, apa aku tetap bersinar? Hanya
sedikit, dan tidak seterang ketika rembulan ada. Ketika rembulan bersembunyi di
balik awan hitam yang egois, aku hanya sebuah titik yang tidak dipedulikan
siapapun. Dan manusia sibuk mencari bulan padahal aku ada disistu walaupun
hanya sebuah titik.
Aku tekankan lagi, bahwa aku hanyalah bintang, yang
menumpang hidup pada bulan. Cahayaku dari bulan, dan aku bukanlah tokoh
utamanya, Sang Rembulan yang utamanya.
Tawamu masih membawa luka bagiku, sedangkan kau merasa
biasa saja bukan? Ekor mataku mengikuti arah gerakmu bersama mereka, dulu aku
pun begitu, berdampingan dan saling tertawa hingga membuat pusat perhatian.
Ah...begitu rindunyakah aku padamu? Dan kau hanya menganggap aku angin lalu?
“Punya pulpen?”
Sebuah suara laki-lai membuyarkan lamunanku, Bima. Aku
segera mengambil sebuah pulpen hitam dari tempat pensilku. Bima tersenyum
menandakan ia berterima kasih padaku lalu kembali bersama kawan-kawannya
sambil mengerjakan materi Gelombang bersama. Jujur saja, itu membuatku iri
sepenuh hati. Bima bisa berbagi cerita, bertukar pikiran, beradu pendapat.
Sedangkan aku hanya melamun dan memikirkan jawaban sendirian. Asal kau tahu,
dulu aku pernah duduk bersamamu mengerjakan tugas bukan?
Aku menghela napas pelan, lagi-lagi kau lewat depan
kelasku membuatku semakin sendu. Lagi-lagi pula aku mengingat semua kenangan
yang kita ukir dari usia kita belum mengenal apa itu sakit hati.
Barisan soal di depanku terlihat begitu mengejek, seolah
mencaciku yang sendirian tiada teman, yang tidak bisa tetap bersinar ketika dia
bukan lagi menjadi rembulanku. Angka-angka yang tertera seolah mengatakan, tak bisakah kau menjadi rembulan bagi dirimu
sendiri? Akan tetap bersinar dan percaya diri, setidaknya kau menghidupi banyak
orang. Apa kau mau hanya menumpang bersinar pada rembulan yang kini tidak lagi
mau dekat denganmu?
Aku menyerah pada sendu, seharusnya aku bisa lebih
bahagia di masa yang katanya masa
paling indah ini. Bukankah harusnya begitu? Aku berjalan menuju tempat yang
kini menjadi idolaku, toilet. Lokasinya harus melewati kelasnya. Kau tahu
maksudku bukan yang aku maksud sebagai ‘nya’? Ialah Sang Rembulanku dulu.
Aku menatap jendela kelasnya yang tertutup oleh tirai
berwarna hijau. Suara riuh dari dalam karena semua guru saat ini sedang rapat.
Awal masuk SMA, aku masih sering megunjunginya, sekadar bercanda dan berjalan
menuju kantin bersama. Sekarang aku tidak mampu lagi masuk ke dalam kelasnya
dan mencari maniknya.
Aku bersyukur karena toilet sepi, aku suka saat seperti
ini. Ketika aku tidak perlu mengantri masuk ke dalam toilet, ketika aku tidak
berusaha berebut cermin, dan ketika aku bebas menatap kumalnya diriku di depan
cermin.
Seusai membasuh wajah, aku menatap diriku di cermin.
Seperti seseorang yang kehilangan auranya, seseorang yang tidak memiliki semangat
hanya karena kehilangan satu orang yang berarti. Kau boleh menertawakanku,
mungkin aku yang terlalu pengecut hanya bergantung padanya, pengecut karena aku
tidak mau memulai lebih dulu sebuah sapaan hangat untuknya padahal aku yang
lebih merindu.
***
Tiada
lagi pesan singkat yang dulu selalu bertengger di bagian paling atas aplikasi chat-ku. Kau bercerita tentang penatmu
dengan tugas yang selalu mampir setiap hari, kagummu akan sosok laki-laki yang
kau lihat dari balik jendela, atau tentang teman lama yang kau rindukan. Dulu.
“Kenapa
Vanessa tidak keisni lagi? Lama tidak mendengar tawa anak itu, yang membuat Mama
selalu ingin ikut tertawa bersama kalian.”
Ujar
Mama kala hujan mengguyur dengan derasnya dan aku asik dengan coklat panas
instan sambil memeluk selimut yang melingkariku seperti sushi.
“Merisa,
ajak Vanessa ke rumah lagi ya, sudah lama Mama tidak bertemu dengannya. Apa kalian
masih sering berduaan seperti sepasang sepatu?”
Pertanyaan
Mama mampu membuatku diam. Seolah semesta tak mengizinkan aku untuk berkata
hingga aku hanya diam menatap ke layar televisi.
“Saat
Mama antar kamu ke sekolah juga tidak bertemu dengan anak itu, dia berangkat
siang mungkin.”
Bukan
hanya aku yang meridukan rembulanku, Mama juga. Karena Mama tahu seperti apa aku
dan dia, yang dari dulu sudah bersama bahkan saat kami tumbuh gigi pun
bersamaan.
Harusnya
kami tidak kalah akan sebuah ego, sebuah ego yang menjadi sekat antara aku dan
dia, kawan lama yang dulu selalu bersama. Seharusnya merkurius dan venus tidak
berjauhan, nama kita terinspirasi dari kedua planet tersebut yang saling
berdampingan, dan memang harusnya begitu. Jarak lima puluh juta kilometer seakan
masih lebih dekat daripada kita yang hanya berjarak tiga kelas.
Atau
kau dan aku layaknya perhiasan di malam hari, aku adalah pelengkapmu ketika
bersinar, dan kamu adalah cahayaku kala aku redup. Harusnya begitu, dan memang
begitu, tetapi itu dulu.
***
Aku
masuk ke dalam gerbang untuk memulai cerita baru, cerita kesekian tanpamu. Aku
melihatmu yang baru turun dari mobil berwarna hitam, kau memancarkan wajah yang
selalu bersinar dan senyum yang selalu melekat pada wajah mungilmu. Pantas saja
kau lupa padaku, seseorang yang tidak peduli dengan diriku sendiri, kantung
mata yang menggantung mesra, wajah kusam yang tidak mau lepas, dan senyum yang
kini hilang dari diriku.
Kau
menatapku sekilas lalu seolah aku hanya orang asing, kini memang aku adalah
asing bagimu. Seharusnya aku bisa melayangkan sapa padamu, mungkin itu akan
membuat hubungan persahabatan yang kita jalin sejak lama akan kembali utuh,
tetapi aku terlalu malu, aku tidak lagi sepadan denganmu, aku bilang, aku hanya
ekormu yang terkadang bisa tidak terlihat olehmu.
Waktu
terus berjalan menyisakan aku yang hanya berdiri mematung di tengah keramaian
siswa yang saling berebut masuk karena bel mulai berbunyi. Ah! Karena dirimu
aku hanya berdiri tidak jelas disini.
Masa
lalu memang harus dilupakan, namun melupakan bukanlah suatu hal yang mudah.
Melupakan seorang mantan kekasih masih lebih mudah daripada melupakan sahabat
yang sudah bersama sejak belasan tahun lalu.
Sejak
aku masuk dalam olimpiade untuk dibina secara matang setiap tiga hari seminggu,
aku merasa semakin kumal dan tidak cocok jika akhirnya aku menulis bahagia
bersamamu lagi. Kau memang pantas bersama kawan-kawan cantikmu yang terus
bersinar di sekolah, sedangkan aku yang murung mengikuti pembinaan yang
membosankan.
“Kamu
ikut lomba cerdas cermat matematika minggu depan?”
Tanya
Marcia yang sedang mengisi soal-soal matematika.
Aku
menggeleng tanda tidak tahu. Dulu, Vanessa selalu melihatku ketika bertanding
dan beradu pikir di olimpiade matematika. Dia adalah suporter paling heboh dan
selalu menyebut namaku dengan lantang. Aku hanya tersenyum malu-malu melihat
tingkah kawanku. Itu dulu, saat kami masih memaki rok merah sampai rok biru.
“Aku
harap kamu ikut loh, Ris.”
Aku
hanya tersenyum bimbang.
Aku
kehilangan semangat dalam berolimpiade sejak aku kehilangan sahabatku, aku
benar-benar kehilangan segalanya padahal banyak yang mengharapkanku untuk ikut
bertanding di panggung dan berebut jawaban. Salah seorang suporter seharusnya
tidak menjadi masalah ketika dia tidak lagi mendukung, tetapi jika itu adalah
suporter yang spesial bagi kita, bagaimana?
***
Aku
memutuskan untuk mengikuti lomba cerdas cermat matematika, bagaimanapun aku
tidak boleh melewatkan kesempatan emas seperti ini. Aku, Marcia, dan Satria
bersiap di lobby menunggu pembina
kami mengantarkan ke lokasi lomba.
Ketika
aku dan Marcia sedang berbincang tentang ini-itu, Vanessa berjalan di depanku,
aku menangkap ekor matanya yang melirik ke arahku lalu menunduk. Tidakkah kau
mau menyapaku dahulu, Vanessa?
“Kita
berangkat sekarang!”
Seru
pembina kami bersemangat sambil berjalan untuk menyiapkan mobil. Aku melihat
wajah Marcia dan Satria yang berbinar sedangkan aku terpaksa berbinar. Pertama
kali aku berlomba tanpa suporter hebohku, Vanessa.
Selama
perjalanan kami membuka catatan-catatan kami dan aku masih ingat ketika dulu
Vanessa selalu mengirimiku pesan sekadar mengucapkan ‘semangat’. Rasanya aku
rindu hal itu.
Kami
sampai di lokasi dan langsung diarahkan menuju meja yang akan kami gunakan saat
lomba. Aku tidak gugup karena aku sudah terbiasa akan hal ini, mataku menyapu
ke arah penonton yang antusias. Biasanya Vanessa duduk di tengah sambil terus
tertawa dan memberikan kepalan tangan tanda semnagat ke arahku. Rasanya lomba
ini hambar tanpa kehadiran suporter hebohku.
Lomba
berjalan dengan lancar, namun aku merasa tidak bisa berkonsentrasi lebih. Aku
seperti kehilnagn sesuatu, Marcia hanya memegang lenganku untuk memberi
ketenangan. Awalnya aku biasa saja lalu mengapa aku harus gugup?
“Tim
dua semangat! Merisa, fokus!”
Aku
mendengar suara yang tidak asing dalam ingatanku meskipun sudah lama aku tidak
mendengarnya lagi. Aku mengarahkan pandangan ke sumber suara dan betapa
terkejutnya aku, seolah bom atom sedang meledak di dadaku. Vanessa. Rembulanku.
Venus yang selalu berdampingan dengan merkurius. Kini dia berdiri di barisan
belakang sambil merangkul kawan-kawannya. Dia menatap ke arahku dan tersenyum
bahagia, aku pun membalasnya.
Entah
karena apa, aku kembali fokus setelah aku melihat Vanessa turut serta dalam
lomba kali ini. Aku tidak peduli dia membolos kegiatan belajar, karena dari
dulu dia selalu ikut ketika aku mengikuti lomba.
Perolehan
akhir, kami mendapat juara dua.
“I’m so happy. Walaupun cuma dapet juara
dua.”
Marcia
sumringah membawa pialanya.
“Merisa
jagoan banget nih pas akhir!”
Satria
tertawa ke arahku, aku hanya membalas dengan anggukan pelan.
Aku
terhenti ketika mataku bertemu dengannya, kini dia berada di depanku. Vanessa,
kawanku yang hampir direbut ego.
“Hei,
selamat ya.”
Vanessa
menjabat tanganku diikuti kawan-kawannya. Selama ini aku salah, kawan-kawan
Vanesssa baik, mereka ramah kepadaku. Aku terlalu percaya diri dan menilai hal
buruk kepada orang lain.
Setelah
itu Vanessa mengajakku berbicara empat mata, aku menurutinya karena aku memang
merindukan hal ini.
“Terima
kasih sudah jadi suporter lagi.”
Aku
tersenyum padanya lembut.
“Lagi?
Aku tidak pernah absen untuk jadi suportermu bukan?”
Aku
menunduk malu, memang dia tidak pernah absen. Aku kira dia tidak akan lagi jadi
suporterku, namun dugaanku salah, dia ikut serta merayakan kemenanganku lagi.
“Aku
kira kamu tidak...”
Aku
memeotong perkataanku takut kalau Vanessa tersinggung.
“Aku
tahu maksudmu. Bahkan kau harus tahu aku juga, aku merindukanmu lebih dari kamu
merindukanku.”
Aku
tersentak mendengar pernyataannya. Jika dia merindukanku, mengapa dia tidak
menyapaku?
“Lalu
kenapa kau hanya mentapku lalu memalingkan wajahmu?”
Tanyaku
hati-hati sambil duduk di kursi taman.
“Egoku
terlalu besar, aku pun malu melihat perkembangnmu yang snagat baik. Kau terlalu
cerdas untukku, aku bahkan malu, belasan tahun bersamamu, namun aku masih saja
bodoh, kau selalu sabar menuntunku mengerjakan sesuatu dan aku tidak bisa
menangkap dengan baik, kau terlalu baik tidak pantas dengan anak manja
sepertiku.”
Aku
menghela napsku. Bukan aku yang pengecut, Vanessa juga. Seharusnya di antara
kami tidak tercipta jarak hanya karena ego dan gengsi, atau karena perbedaan
kelas yang berjarak beberapa meter saja.
“Maafkan
aku, aku kira kamu melupakan aku. Aku merasa tidak pantas untuk tetap jadi
kawanmu, kau menemukan kawan barumu yang lebih baik dariku.”
Aku
kembali menatapnya nanar.
“Merkurius
dan venus berdampingan bukan? Venus tidak akan pindah di samping uranus, dan merkurius
tidak akan pindah di samping mars.”
“Aku
tidak bisa bersinar tanpa rembulanku, redup.”
“Kau
anggap aku rembulan? Aku pun anggap kau rembulan dan aku hanya sebuah bintang
yang kecil yang hanya dapat bersiar dengan bantuan cahaya rembulan.”
Aku
menangkap kata-katanya. Masing-masing kami memiliki sifat pengecut dan ego yang
begitu besar rupanya.
“Jadi?”
Aku
menatapnya dengan sejuta pertanyaan.
“Bulan
tidak pernah menjadi dua, mustahil. Pantas saja pernah tercipta jarak karena
masing-masing kita menganggap seseorang menjadi bulan, mustahil.”
Aku
masih belum mengerti perkataannya namun aku tidak mengindahkannya dan tersenyum
kecil.
“Kita
bukan rembulan dan bintang yang akan indah jika keduanya ada, yang bisa saja
hilang salah satunya direnggut kelamnya awan.”
“Jadi,
kita apa?”
Tanyaku
ragu.
“Kita
adalah Vanessa dan Merisa yang sudah kenalan sejak dulu, sejak kita masih
merangkak, sejak kita baru tumbuh gigi, dan sejak kita duduk bersama dengan rok
merah. Kita yang dikenal selalu berdua, merkurius dan mars yang selalu
berdekatan, bahkan lebih dekat dari itu bukan?”
Aku
menatapnya denagn haru lalu tanpa malu-malu memeluk tubuhnya.
“Maaf.”
Ucapku
lirih.
“Harusnya
aku.”
Kami
saling melepas rindu, kami belajar bahwa gengsi hanya membuat sekat pembatas,
ego membuat lebih tinggi lagi, dan sifat pengecut membuat lebih besar.
Harusnya
kami terus bertukar sapa, seharusnya kami terus berdampingan meskipun kini
sudah tak sedekat dulu.
“Mama
kangen ketawanya Vanessa.”
Aku
berkata dengan tawa yang kembali menyeruak. Tawa yang selama ini hanya
terpendam dalam diriku sendiri dan kembali hadir ketika seseorang mampu
menghidupkannya kembali. Kini, tiada lagi rembuan dan bintang, hanya ada kita,
kau dan aku yang akan terus mengukir kisah persahabatan yang direstui semesta.
***