Saturday 16 February 2019

Embun untuk Si Candala


Cobalah bertanya kepada diri sendiri, sudahkah kau siap membacanya .
Aku tidak menjamin kau akan tetap tenang.
Siapkan hatimu, dan kuharap dugaanku di akhir bait merupakan kesalahan besar.

Manik yang sudah terikat dengan bulan
Seolah menatap fraksi raganya
Merenung
Diam
Sendirian

Jendela yang berkerit dengan lembut
Media diamnya sepanjang malam
Merutuk diri sendiri dengan semena-mena
Menyiram luka dengan makian tajam
Tangis hasil akhirnya

Si Candala
Sebutan untuk dirinya
Tiada pernah dia percaya pada dirinya sendiri
Enggan berdamai dengan kata hatinya
Melarikan diri ke jiwa yang lain
Seolah mencari raga untuk lakunanya yang kini mati

Siapa berani tanya kepada dirinya
“Kapankah kau akan mulai mencari matahari?”
Jika kau tak takut akan tatapan kosongnya
Tak mengapa
Cobalah untuk membantunya menikmati pagi

Siapa yang mengatakannya nokturnal
Tidak sepenuhnya salah
Dia berbincang dengan malam
Sangsi akan tujuan Tuhan menciptakannya

Adakah yang mampu membawanya melihat matahari
Sang Surya sudah menunggu ribuan menit
Menanti kedatangan pertama Si Candala
Dengan senyum bagai bunga merekah di pagi hari

Air matanya bahkan sia-sia
Menangisi diri yang sebenarnya tidak bersalah
Hanya saja dia perlu tahu
Bahwa berperang dengan diri sendiri itu melelahkan

Siapa mau memberinya embun
Berbagi pagi yang sejuk dan udara nan segar
Bukankah dia akan menyukainya?
Kristal embun akan membuatnya tenang

Tidak pernahkah dia berpikir
Bahwa berbincang dengan fajar begitu menenangkan
Sinar hangatnya mencairkan hati yang membatu
Dan bersiaplah untuk bahagia sepanjang waktu

Bukankah Si Candala mendengar gemercik air?
Pesan Tuhan yang mestinya dia dengarkan
Tidak pernah Tuhan menciptakan manusia dengan sia-sia
Sadarlah
Hanya dia yang dapat menciptakan bahagia untuknya sendiri

Jika kau tanya siapa Si Candala itu
Manusia paling hina karena memaki dirinya
Manusia tak tahu diri karena sangsinya yang tajam
Manusia menyedihkan temannya kegelapan

Tunggu
Apakah kau benar-benar peduli pada Si Candala?
Atau hanya penasaran akan siapa Si Candala?
Kemudian ikut menatapnya dengan skeptis
Menjatuhkan dirinya ke lubang hampa

Jika kau mengelaknya
Mari kuberitahu siapa Si Candala

Sosok yang kini tengah berbicara padamu
Melalui tatapan ragu-ragunya
Kau mencoba menyelam mencari tahu kebenaran
Kemudian menyadari sebuah fakta
Ya, kau sedang membaca kisahmu
Bukankah kau adalah Si Candala itu sendiri?

Cirebon, 16 Februari 2018
#Sabtulis




Share:

Saturday 9 February 2019

Empat Puluh


          Kini senja risau karena dirinya tergantikan dengan malam, bintang-bintang sudah muncul bersama bulan separuh yang sedikit tertutup awan. Angin tiada henti mengembuskan napasnya padaku.

            “Tiga puluh sembilan. Satu hari lagi.”
            Aku bergumam sendirian sambil mengayunkan kakiku yang berada satu senti dari tanah.
            “Aku tak mau bertemu fajar tetapi mau tidak mau fajar tetap akan menjemputku.”
            Aku menatap Koci, kucing hitamku yang setia duduk di dekatku sambil menjilati tubuhnya yang kini dipenuhi kutu. Suara ayunan yang aku duduki sudah terdengar reot, talinya pun hampir putus dengan batang pohon mangga yang tidak pernah berbuah ini. Aku juga menatap rumput-rumput hijau sudah tumbuh liar di tempat ini tanpa kendali.
            “Koci, apa yang akan kamu lakukan esok hari?” aku mengelus bulu hitam halus Koci.
            Koci menatapku seolah mengerti aku sedang bertanya padanya. Dia mengeluarkan suara khasnya dan tatapan hijau dari mata besar itu.
            “Ah, aku tahu! Kalau tidak makan ya kawin, kerjaanmu ‘kan begitu.”
            Seolah Koci mengerti apa yang aku katakan, dia mencakar kaki mungilku sembari mengeong dengan garang.
            “Aku bergurau, tapi fakta. Ya, mungkin kau mengerjakan tugas dari ibu, berburu tikus dapur.” Aku menatap Koci dengan tatapan tulus.
            Meskipun orang-orang sempat mencemoohku karena aku memilih Koci untuk dipelihara, aku tetap bangga padanya. Dia kucing yang akan menyerang siapa saja yang berniat melukaiku karena aku dianggap bodoh di sekolah, hampir setiap hari dia juga membawakanku hadiah, seekor tikus dapur, ya... dia memang kucing yang baik hati. Aku masih ingat ketika Oom Maga mengatakan aku gadis bodoh dan mengejek Koci karena dia terlihat rapuh dan kurus ketika aku mengadopsinya, apalagi bulunya yang hitam legam seperti kucing milik penyihir. Oom Maga beberapa kali menyuruhku menukar Koci dengan kucing lain tetapi pilihanku sudah bulat, Koci pilihanku.
            Angin berembus lembut seolah berbisik padaku, membuat rambutku berkibar laiknya bendera. Angin lembut itu datang bersama senja yang buru-buru datang. Dia membawa kawannya, Si Jingga yang kini memenuhi langit biru kesukaanku.
            “Satu hari lagi. Tinggal tunggu gelap dan bulan menyapaku, esok hari sudah datang. Kau bisa pulang, Koci. Tikus dapur lebih enak daripada tikus tanah.”
            Kini Koci berbaring di punggung kakiku seolah tidak mau aku pergi. Aku menatapnya dengan haru, sudah tiga tahun aku merawatnya, dulu dia amat kurus dan kotor, kini dia gemuk dan besar meskipun beberapa kutu hinggap di tubuhnya, aku sempat marah karena Koci terlihat kotor karena kutu.
            “Tidurlah, Koci. Kejutan untukmu esok hari.”
            Kini senja risau karena dirinya tergantikan dengan malam, bintang-bintang sudah muncul bersama bulan separuh yang sedikit tertutup awan. Angin tiada henti mengembuskan napasnya padaku. Berbisik kalau besok adalah hari bahagiaku, aku tidak sepenuhnya setuju pada angin.
            Mataku kian berat, merengek minta istirahat. Selamat malam untuk malam.
            Mataku terbuka karena sinar fajar menyoroti wajahku, Koci masih berbaring di kakiku.
            Ada yang baru aku lihat hari ini, seseorang dengan pakaian hitam yang aku sudah tebak dia akan datang pada hari ke-40. Siap tidak siap aku harus menuruti perintahnya. Aku segera beranjak dari dudukku dan membuat Koci terperanjat, dia mengeong lembut ke arahku yang berjalan menuju sosok itu.
            “Kejutan! Hari ke-40, Koci! Pulanglah, ibu akan mencarimu, kasihan setiap hari dia mencarimu ke sini dan memaksamu pulang. Tidak apa-apa, aku baik-baik saja bersama dia, selamat makan tikus dapur!”
            Aku tersenyum pada Koci yang kini hanya menatapku tanpa bergerak, matanya yang berbicara atas kehilanganku. Tidak jauh dari sana, aku melihat wanita yang aku kenal. Ibuku. Dia berjalan menuju arah Koci dnegan panik.
            “Kociku, sayang. Dera akan baik-baik saja, mari pulang. Dia tidak akan kembali, Koci. Alamnya bukan bersama kita.”
            Aku menatap ibu yang berbicara kepada Koci sembari menyebut-nyebut namaku, Dera.
            “Dera. Bahagiakah di sana? Tenang, di sana tidak ada yang jahat padamu,”ujar ibu.
            “Bahagia, melihat Ibu bahagia juga aku bahagia. Selamat tinggal.” Aku menjawab sambil berjalan mengikuti sosok berjubah hitam entah ke mana.
            Ibu menitikkan air matanya di sebuah gundukan tanah dan nisan bertuliskan ‘Dera’. Di atasnya, sebuah tali tambang masih tergantung di sana, empat puluh hari yang lalu, aku menjerat leherku sendiri tepat setelah teman-temanku melempariku dengan kertas karena tidak bisa menjawab soal mateamtika di papan tulis.



#Sabtulis
Share:

Saturday 2 February 2019

Pecah, Lebur, dan Terkubur


Untuk hati-hati yang kini sendiri 
Kau bukan satu-satunya
Ribuan manusia bernasib sama
Bahagia, sakit, mati


Sebuah pesan tua masa lampau
Kiranya kita sudah sama-sama tahu
Sila putar waktu lagi ketika nestapa
Kau pergi dan tak lagi menyapa

Kertas kuning usang di jemariku
Setahun yang lalu kau masih di sini
Temaniku tak kenal waktu
Menjelma menjadi seorang peri

Lupa ya
Kau telat setahun
Tak ada kabar
Janji kau buang
Menghanguskan euforia
Kala angka itu terulang

Kau anggap aku pusara
Maumu aku tiada
Aku seolah hanya cerita
Darimu kepada seorang wanita

Apakah masih perlu menatap potretmu
Untukmu tidak
Bagiku iya
Sepuluh tahun lagi
Kita benar-benar mati
Bukan hanya sekadar fiksi
Kamu yang dahulu pergi

Aku tak tahu apa yang kau ceritakan di luar sana
Dan tak mau tahu
Kau seolah menjadi protagonis
Dan aku
Tentu saja seorang penyihir jahat                      

Berbusalah mulutmu
Ceritamu bualan semata
Siapa yang tahu
Kiranya hanya aku yang tak percaya

Sila pergi
Bawa semua kenanganmu
Bawa semua ragamu
Bawa semua janjimu
Bawa semua tatapanmu
Jangan bawa namaku

Bisakah kau pergi tanpa orang lain tahu
Kau yang salah
Tak pantas menarik simpati

Biar kita menjadi dua bagian
Aku dan kamu
Pecah

Aku untuk hidupku
Kamu untuk yang baru itu
Lebur dalam kehidupan masing-masing

Sekali lagi
Pergilah jika kau mau
Kuburlah semua cerita
Dan jadilah elegi untuk hidupku

Cirebon, 02 Februari 2019
#Sabtulis






Share: