Tuesday, 27 February 2018

Ekor Sang Rembulan


Aku adalah satu dari kumpulan bintang yang bersinar sebagai ekor sang rembulan. Terang dan menjadi idola ketika malam, apalagi kau, Sang Rembulan. Kau menjadi bintang yang sebenarnya, dielukan para umat manusia, dan selalu didambakan secara puitis di lembaran-lembaran kertas.
            Ketika rembulan menghilang, apa aku tetap bersinar? Hanya sedikit, dan tidak seterang ketika rembulan ada. Ketika rembulan bersembunyi di balik awan hitam yang egois, aku hanya sebuah titik yang tidak dipedulikan siapapun. Dan manusia sibuk mencari bulan padahal aku ada disistu walaupun hanya sebuah titik.
            Aku tekankan lagi, bahwa aku hanyalah bintang, yang menumpang hidup pada bulan. Cahayaku dari bulan, dan aku bukanlah tokoh utamanya, Sang Rembulan yang utamanya.
            Tawamu masih membawa luka bagiku, sedangkan kau merasa biasa saja bukan? Ekor mataku mengikuti arah gerakmu bersama mereka, dulu aku pun begitu, berdampingan dan saling tertawa hingga membuat pusat perhatian. Ah...begitu rindunyakah aku padamu? Dan kau hanya menganggap aku angin lalu?
            “Punya pulpen?”
            Sebuah suara laki-lai membuyarkan lamunanku, Bima. Aku segera mengambil sebuah pulpen hitam dari tempat pensilku. Bima tersenyum menandakan ia berterima kasih padaku lalu kembali bersama kawan-kawannya sambil mengerjakan materi Gelombang bersama. Jujur saja, itu membuatku iri sepenuh hati. Bima bisa berbagi cerita, bertukar pikiran, beradu pendapat. Sedangkan aku hanya melamun dan memikirkan jawaban sendirian. Asal kau tahu, dulu aku pernah duduk bersamamu mengerjakan tugas bukan?
            Aku menghela napas pelan, lagi-lagi kau lewat depan kelasku membuatku semakin sendu. Lagi-lagi pula aku mengingat semua kenangan yang kita ukir dari usia kita belum mengenal apa itu sakit hati.
            Barisan soal di depanku terlihat begitu mengejek, seolah mencaciku yang sendirian tiada teman, yang tidak bisa tetap bersinar ketika dia bukan lagi menjadi rembulanku. Angka-angka yang tertera seolah mengatakan, tak bisakah kau menjadi rembulan bagi dirimu sendiri? Akan tetap bersinar dan percaya diri, setidaknya kau menghidupi banyak orang. Apa kau mau hanya menumpang bersinar pada rembulan yang kini tidak lagi mau dekat denganmu?
            Aku menyerah pada sendu, seharusnya aku bisa lebih bahagia di masa yang katanya masa paling indah ini. Bukankah harusnya begitu? Aku berjalan menuju tempat yang kini menjadi idolaku, toilet. Lokasinya harus melewati kelasnya. Kau tahu maksudku bukan yang aku maksud sebagai ‘nya’? Ialah Sang Rembulanku dulu.
            Aku menatap jendela kelasnya yang tertutup oleh tirai berwarna hijau. Suara riuh dari dalam karena semua guru saat ini sedang rapat. Awal masuk SMA, aku masih sering megunjunginya, sekadar bercanda dan berjalan menuju kantin bersama. Sekarang aku tidak mampu lagi masuk ke dalam kelasnya dan mencari maniknya.
            Aku bersyukur karena toilet sepi, aku suka saat seperti ini. Ketika aku tidak perlu mengantri masuk ke dalam toilet, ketika aku tidak berusaha berebut cermin, dan ketika aku bebas menatap kumalnya diriku di depan cermin.
            Seusai membasuh wajah, aku menatap diriku di cermin. Seperti seseorang yang kehilangan auranya, seseorang yang tidak memiliki semangat hanya karena kehilangan satu orang yang berarti. Kau boleh menertawakanku, mungkin aku yang terlalu pengecut hanya bergantung padanya, pengecut karena aku tidak mau memulai lebih dulu sebuah sapaan hangat untuknya padahal aku yang lebih merindu.
***
Tiada lagi pesan singkat yang dulu selalu bertengger di bagian paling atas aplikasi chat-ku. Kau bercerita tentang penatmu dengan tugas yang selalu mampir setiap hari, kagummu akan sosok laki-laki yang kau lihat dari balik jendela, atau tentang teman lama yang kau rindukan. Dulu.
“Kenapa Vanessa tidak keisni lagi? Lama tidak mendengar tawa anak itu, yang membuat Mama selalu ingin ikut tertawa bersama kalian.”
Ujar Mama kala hujan mengguyur dengan derasnya dan aku asik dengan coklat panas instan sambil memeluk selimut yang melingkariku seperti sushi.
“Merisa, ajak Vanessa ke rumah lagi ya, sudah lama Mama tidak bertemu dengannya. Apa kalian masih sering berduaan seperti sepasang sepatu?”
Pertanyaan Mama mampu membuatku diam. Seolah semesta tak mengizinkan aku untuk berkata hingga aku hanya diam menatap ke layar televisi.
“Saat Mama antar kamu ke sekolah juga tidak bertemu dengan anak itu, dia berangkat siang mungkin.”
Bukan hanya aku yang meridukan rembulanku, Mama juga. Karena Mama tahu seperti apa aku dan dia, yang dari dulu sudah bersama bahkan saat kami tumbuh gigi pun bersamaan.
Harusnya kami tidak kalah akan sebuah ego, sebuah ego yang menjadi sekat antara aku dan dia, kawan lama yang dulu selalu bersama. Seharusnya merkurius dan venus tidak berjauhan, nama kita terinspirasi dari kedua planet tersebut yang saling berdampingan, dan memang harusnya begitu. Jarak lima puluh juta kilometer seakan masih lebih dekat daripada kita yang hanya berjarak tiga kelas.
Atau kau dan aku layaknya perhiasan di malam hari, aku adalah pelengkapmu ketika bersinar, dan kamu adalah cahayaku kala aku redup. Harusnya begitu, dan memang begitu, tetapi itu dulu.
***
Aku masuk ke dalam gerbang untuk memulai cerita baru, cerita kesekian tanpamu. Aku melihatmu yang baru turun dari mobil berwarna hitam, kau memancarkan wajah yang selalu bersinar dan senyum yang selalu melekat pada wajah mungilmu. Pantas saja kau lupa padaku, seseorang yang tidak peduli dengan diriku sendiri, kantung mata yang menggantung mesra, wajah kusam yang tidak mau lepas, dan senyum yang kini hilang dari diriku.
Kau menatapku sekilas lalu seolah aku hanya orang asing, kini memang aku adalah asing bagimu. Seharusnya aku bisa melayangkan sapa padamu, mungkin itu akan membuat hubungan persahabatan yang kita jalin sejak lama akan kembali utuh, tetapi aku terlalu malu, aku tidak lagi sepadan denganmu, aku bilang, aku hanya ekormu yang terkadang bisa tidak terlihat olehmu.
Waktu terus berjalan menyisakan aku yang hanya berdiri mematung di tengah keramaian siswa yang saling berebut masuk karena bel mulai berbunyi. Ah! Karena dirimu aku hanya berdiri tidak jelas disini.
Masa lalu memang harus dilupakan, namun melupakan bukanlah suatu hal yang mudah. Melupakan seorang mantan kekasih masih lebih mudah daripada melupakan sahabat yang sudah bersama sejak belasan tahun lalu.
Sejak aku masuk dalam olimpiade untuk dibina secara matang setiap tiga hari seminggu, aku merasa semakin kumal dan tidak cocok jika akhirnya aku menulis bahagia bersamamu lagi. Kau memang pantas bersama kawan-kawan cantikmu yang terus bersinar di sekolah, sedangkan aku yang murung mengikuti pembinaan yang membosankan.
“Kamu ikut lomba cerdas cermat matematika minggu depan?”
Tanya Marcia yang sedang mengisi soal-soal matematika.
Aku menggeleng tanda tidak tahu. Dulu, Vanessa selalu melihatku ketika bertanding dan beradu pikir di olimpiade matematika. Dia adalah suporter paling heboh dan selalu menyebut namaku dengan lantang. Aku hanya tersenyum malu-malu melihat tingkah kawanku. Itu dulu, saat kami masih memaki rok merah sampai rok biru.
“Aku harap kamu ikut loh, Ris.”
Aku hanya tersenyum bimbang.
Aku kehilangan semangat dalam berolimpiade sejak aku kehilangan sahabatku, aku benar-benar kehilangan segalanya padahal banyak yang mengharapkanku untuk ikut bertanding di panggung dan berebut jawaban. Salah seorang suporter seharusnya tidak menjadi masalah ketika dia tidak lagi mendukung, tetapi jika itu adalah suporter yang spesial bagi kita, bagaimana?
***
Aku memutuskan untuk mengikuti lomba cerdas cermat matematika, bagaimanapun aku tidak boleh melewatkan kesempatan emas seperti ini. Aku, Marcia, dan Satria bersiap di lobby menunggu pembina kami mengantarkan ke lokasi lomba.
Ketika aku dan Marcia sedang berbincang tentang ini-itu, Vanessa berjalan di depanku, aku menangkap ekor matanya yang melirik ke arahku lalu menunduk. Tidakkah kau mau menyapaku dahulu, Vanessa?
“Kita berangkat sekarang!”
Seru pembina kami bersemangat sambil berjalan untuk menyiapkan mobil. Aku melihat wajah Marcia dan Satria yang berbinar sedangkan aku terpaksa berbinar. Pertama kali aku berlomba tanpa suporter hebohku, Vanessa.
Selama perjalanan kami membuka catatan-catatan kami dan aku masih ingat ketika dulu Vanessa selalu mengirimiku pesan sekadar mengucapkan ‘semangat’. Rasanya aku rindu hal itu.
Kami sampai di lokasi dan langsung diarahkan menuju meja yang akan kami gunakan saat lomba. Aku tidak gugup karena aku sudah terbiasa akan hal ini, mataku menyapu ke arah penonton yang antusias. Biasanya Vanessa duduk di tengah sambil terus tertawa dan memberikan kepalan tangan tanda semnagat ke arahku. Rasanya lomba ini hambar tanpa kehadiran suporter hebohku.
Lomba berjalan dengan lancar, namun aku merasa tidak bisa berkonsentrasi lebih. Aku seperti kehilnagn sesuatu, Marcia hanya memegang lenganku untuk memberi ketenangan. Awalnya aku biasa saja lalu mengapa aku harus gugup?
“Tim dua semangat! Merisa, fokus!”
Aku mendengar suara yang tidak asing dalam ingatanku meskipun sudah lama aku tidak mendengarnya lagi. Aku mengarahkan pandangan ke sumber suara dan betapa terkejutnya aku, seolah bom atom sedang meledak di dadaku. Vanessa. Rembulanku. Venus yang selalu berdampingan dengan merkurius. Kini dia berdiri di barisan belakang sambil merangkul kawan-kawannya. Dia menatap ke arahku dan tersenyum bahagia, aku pun membalasnya.
Entah karena apa, aku kembali fokus setelah aku melihat Vanessa turut serta dalam lomba kali ini. Aku tidak peduli dia membolos kegiatan belajar, karena dari dulu dia selalu ikut ketika aku mengikuti lomba.
Perolehan akhir, kami mendapat juara dua.
I’m so happy. Walaupun cuma dapet juara dua.”
Marcia sumringah membawa pialanya.
“Merisa jagoan banget nih pas akhir!”
Satria tertawa ke arahku, aku hanya membalas dengan anggukan pelan.
Aku terhenti ketika mataku bertemu dengannya, kini dia berada di depanku. Vanessa, kawanku yang hampir direbut ego.
“Hei, selamat ya.”
Vanessa menjabat tanganku diikuti kawan-kawannya. Selama ini aku salah, kawan-kawan Vanesssa baik, mereka ramah kepadaku. Aku terlalu percaya diri dan menilai hal buruk kepada orang lain.
Setelah itu Vanessa mengajakku berbicara empat mata, aku menurutinya karena aku memang merindukan hal ini.
“Terima kasih sudah jadi suporter lagi.”
Aku tersenyum padanya lembut.
“Lagi? Aku tidak pernah absen untuk jadi suportermu bukan?”
Aku menunduk malu, memang dia tidak pernah absen. Aku kira dia tidak akan lagi jadi suporterku, namun dugaanku salah, dia ikut serta merayakan kemenanganku lagi.
“Aku kira kamu tidak...”
Aku memeotong perkataanku takut kalau Vanessa tersinggung.
“Aku tahu maksudmu. Bahkan kau harus tahu aku juga, aku merindukanmu lebih dari kamu merindukanku.”
Aku tersentak mendengar pernyataannya. Jika dia merindukanku, mengapa dia tidak menyapaku?
“Lalu kenapa kau hanya mentapku lalu memalingkan wajahmu?”
Tanyaku hati-hati sambil duduk di kursi taman.
“Egoku terlalu besar, aku pun malu melihat perkembangnmu yang snagat baik. Kau terlalu cerdas untukku, aku bahkan malu, belasan tahun bersamamu, namun aku masih saja bodoh, kau selalu sabar menuntunku mengerjakan sesuatu dan aku tidak bisa menangkap dengan baik, kau terlalu baik tidak pantas dengan anak manja sepertiku.”
Aku menghela napsku. Bukan aku yang pengecut, Vanessa juga. Seharusnya di antara kami tidak tercipta jarak hanya karena ego dan gengsi, atau karena perbedaan kelas yang berjarak beberapa meter saja.
“Maafkan aku, aku kira kamu melupakan aku. Aku merasa tidak pantas untuk tetap jadi kawanmu, kau menemukan kawan barumu yang lebih baik dariku.”
Aku kembali menatapnya nanar.
“Merkurius dan venus berdampingan bukan? Venus tidak akan pindah di samping uranus, dan merkurius tidak akan pindah di samping mars.”
“Aku tidak bisa bersinar tanpa rembulanku, redup.”
“Kau anggap aku rembulan? Aku pun anggap kau rembulan dan aku hanya sebuah bintang yang kecil yang hanya dapat bersiar dengan bantuan cahaya rembulan.”
Aku menangkap kata-katanya. Masing-masing kami memiliki sifat pengecut dan ego yang begitu besar rupanya.
“Jadi?”
Aku menatapnya dengan sejuta pertanyaan.
“Bulan tidak pernah menjadi dua, mustahil. Pantas saja pernah tercipta jarak karena masing-masing kita menganggap seseorang menjadi bulan, mustahil.”
Aku masih belum mengerti perkataannya namun aku tidak mengindahkannya dan tersenyum kecil.
“Kita bukan rembulan dan bintang yang akan indah jika keduanya ada, yang bisa saja hilang salah satunya direnggut kelamnya awan.”
“Jadi, kita apa?”
Tanyaku ragu.
“Kita adalah Vanessa dan Merisa yang sudah kenalan sejak dulu, sejak kita masih merangkak, sejak kita baru tumbuh gigi, dan sejak kita duduk bersama dengan rok merah. Kita yang dikenal selalu berdua, merkurius dan mars yang selalu berdekatan, bahkan lebih dekat dari itu bukan?”
Aku menatapnya denagn haru lalu tanpa malu-malu memeluk tubuhnya.
“Maaf.”
Ucapku lirih.
“Harusnya aku.”
Kami saling melepas rindu, kami belajar bahwa gengsi hanya membuat sekat pembatas, ego membuat lebih tinggi lagi, dan sifat pengecut membuat lebih besar.
Harusnya kami terus bertukar sapa, seharusnya kami terus berdampingan meskipun kini sudah tak sedekat dulu.
“Mama kangen ketawanya Vanessa.”
Aku berkata dengan tawa yang kembali menyeruak. Tawa yang selama ini hanya terpendam dalam diriku sendiri dan kembali hadir ketika seseorang mampu menghidupkannya kembali. Kini, tiada lagi rembuan dan bintang, hanya ada kita, kau dan aku yang akan terus mengukir kisah persahabatan yang direstui semesta.
***



Share:

0 komentar:

Post a Comment