Kecoa
Si Cinta Monyetku
“Aduh!” aku berteriak ketika merasakan jepit rambutku
ditarik oleh seseorang.
“Hahaha! Lucu!” aku menoleh ke arah suara itu, lagi dan
lagi, ah rupanya Dafa. Anak itu memang setiap hari menggangguku. Sudah
berkali-kali aku bilang pada Bunda, namun Bunda tidak menggubrisnya.
“Diem ya kamu!” kataku memukul lengan Dafa, “Aku bilang
Bunda nih!” kataku lagi.
“Gak takut, wee!” dia menjulurkan lidah kepadaku. Aku
kesal bukan kepalang melihat Dafa yang mirip kecoa ini.
***
“Yaah.. Hujan,” aku mengulurkan tanganku sambil menatap
langit. Air hujan ini cukup deras, aku tidak bisa menerobosnya.
Hari ini jadwal lesku, jarak tempat les dari rumahku
cukup dekat. Tetapi kalau hujan begini, mana bisa aku pulang. Aku duduk di teras
tempat lesku, membaca buku dongeng pemberian Bunda.
“Hai gendut!” seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh,
Dafa! Ya, aku memang satu les dengan kecoa itu, rumahnya juga hanya berjarak
sekitar lima bangunan dari rumahku.
“Gak pulang?” dia menambahkan, nadanya tidak biasa, agak
baik gitu deh.
“Hujan,” jawabku pelan.
“Pulang sana, mau maghrib,” katanya lagi. Ya ampun Daf!
Bagaiaman caranya aku pulang kalau sedang hujan, aku tidak punya payung atau
jas hujan.
“Gak bisa,” jawabku singkat sambil terus terpaku oleh
buku dongeng.
Dia diam, dan mengeluarkan bingkisan dari tasnya kemudian
memberinya kepadaku. Aku menerimanya dengan pelan-pelan takut kalau isinya
berupa tikus putih yang aku takuti. Aku membuka bingkisan itu, dan kalian tahu
apa isinya? Sebuah jas hujan!
“Pakai saja,” dia tersenyum manis kepadaku, ah tidak
biasanya dia baik seperti itu.
“Nggak ah, kamu pakai saja, kalau aku yang pakai, kamu
pakai apa?” tanyaku sambil mengulurkan bingkisan jas hujan tadi.
“Aku ada kok, nih!” dia menunjukkan sebuah jas hujan
lagi. Apa?! Dia bawa dua jas hujan? Untuk apa? Coba pikirkan! “Kemarin aku
minta Mama untuk membelikan jas hujan satu lagi buat Nadira, karena aku kasian
sama Nadira, kalau hujan harus tunggu Bunda pulang, kan malam banget,”
jelasnya. Ya ampun! Seorang Dafa ‘Kecoa’ bisa kasihan juga sama musuhnya? Dafa
yang suka bilang aku gendut dan itu faktanya, bilang kasihan sama aku? Why?! “Ayo pulang,” dia mengajakku. Kali
ini aku tidak menolak, karena memang aku juga ingin pulang karena sudah mau
maghrib, Bunda pulang jam delapan malam.
***
“Nad, kamu dapat kelas apa?” tanya Bella kepadaku.
“6-A!” jawabku girang sekali.
“Wah Nadira sekelas sama aku!” tiba-tiba Dafa datang
sambil berteriak.
“Aku gak berharap sama kamu ya Daf!” kataku menyipitkan
kedua mataku yang sudah sipit.
“Kalau beda kelas nanti kita kangen Nad, kan kalau
sekelas enak,” jawabnya enteng. “Aku kan bisa lihat kamu terus setiap hari,
hehe,”
Aku pikir wajahku sudah mirip kepiting rebus yang diolesi
sambal yang merah sekali, kenapa aku jadi malu?
“Ciee... Dafa suka Nadira!” tawa seluruh teman-temanku.
Ah!
“Emang iya,” Dafa tersenyum sambil menatapku.
Kelas enam berbeda dengan kelas lima, tentang keseriusanku,
penampilanku, dan sikap Dafa! Ya! Kecoa itu memang benar-benar beda, dia lebih
baik kepadaku. Memberikan perhatian-perhatiannya padaku. Ah! Aku pikir dia cuma
berubah saja karena sudah besar bukan?
***
“Nad, aku suka kamu,” Dafa menatapku. Saat ini aku sedang
duduk bersama Dafa, Dafa yang minta karena Alin tidak masuk kelas hari ini.
“Haha..” tawaku sedikit garing.
“Kok ketawa?” tanyanya bingung.
“Nggak kok,” jawabku.
“Tadi ketawa,” matanya terlihat serius.
“Siapa bilang?” elakku lagi.
“Aku,” Dafa memalingkan wajahnya, “kalau kamu ketawa jadi
cantik,”
Dia ngomong apa sih? Jangan buat aku salah tingkah deh!
Sepertinya aku sudah mulai pubertas, pikirku. “Emang aku cantik,”
“Tambah cantik kalau ketawa, mirip princess,” dia tersenyum bahagia saat itu, mau taruh di mana mukaku
ini! Aku malu Ya Tuhan...
“Oh iya Nad, aku suka kamu dari kelas empat loh,” Dafa
menambahkan lagi.
“Kata Bunda gak boleh suka-sukaan,”
“Yaudah, sukanya aku simpan saja ya sampai aku gede,” dia
mentapku, “boleh?”
Aku tidak bisa menjawab lalu mengangguk tanpa ekspresi.
Sejak kejadian itu, aku dan Dafa sedikit menjauh, entah
karena apa. Tetapi karena aku menjauh dengan Dafa, aku lebih serius dalam
belajar, nilai Ujian Nasionalku juga bagus, masuk sepuluh besar! Aku juga
menceritakan apa yang dibicarakan Dafa kepada Bunda, dia hanya tertawa seraya
berkata, “Princess Bunda suka sama kecoa
ya,”
Kata Ayah, besok aku akan didaftarkan ke SMP yang
favorit, aku akan menjadi anak SMP! Nadira yang lugu ini jadi anak SMP!
***
“Hai Nad,” seseorang memanggilku. Aku yang sedang kebingungan
mencari kelas menoleh ke sumber suara yang baru puber itu.
“Dafa?” tanyaku.
“Satu sekolah lagi ya,” katanya tertawa menunjukkan
matanya yang sipit ketika tertawa, “kamu masih gendut, hahaha,” Dafa masih sama
ternyata, bilang aku gendut terus.
“Aku mau diet!” jawabku kesal.
“Jangan,” jawabnya datar.
“Kenapa?” heranku.
“Nanti aku gak suka lagi,” setelah mengatakan itu, dia
lalu pergi meninggalkanku. Siapa peduli kalau dia gak suka aku lagi? Hah?!
Ah! Akhirnya aku menemukan kelasku, ada di lantai dua, di
pojok lagi! Aku telat datang deh! Kursinya sudah penuh semua, lalu aku duduk
dimana?
“Disini,” seseorang meraih pergelangan tanganku, seorang
anak perempuan cantik berkucir kuda.
“Makasih,” jawabku.
Aku terpaku melihat seorang anak laki-laki duduk di
depanku, matanya bulat, kulitnya hitam manis, senyumnya lebih manis, rambutnya
keren! Aku pikir sku sudah pubertas karena sudah suka-sukaan. Siapa sih dia?
Oh! Namanya Sulthan! Hm.. Aku permaisurinya kali ya? Hahaha...
***
Satu, dua, tiga, empat bulan berlalu. Aku sukses diet!
Aku turun cukup drastis! Tetapi pipiku yang gemas mirip bakpau ini masih
menempel, tidak apa-apa pipi yang gembul itu lucu, katanya.
Aku berjalan menuju halte, menunggu angkutan lewat, namun
hari sudah sore, angkutan jurusan rumahku sudah sedikit sekali yang lewat.
“Nad,” aku menoleh. Sudah berapa lama aku tidak melihat
wajah ini, dia sibuk karena tugasnya sebagai anggota OSIS, aku sibuk karena aku
wara-wiri dari olimpiade ke olimpiade lainnya.
“Eh Daf,” aku tersenyum.
“Kurusan ya,”
“Iya,”
“Tapi aku masih,”
“Masih apa?”
“Suka,” aku tertawa mendengarnya. “Nad, mau jadi pacar
aku?”
Aku tersentak, bayangkan! Anak SMP jaman sekarang mainnya
sudah pacar-pacaran?!
“Ih?” aku bingung dengan pipi memerah.
“Gimana?”
“Iya,” entah kenapa aku malah jawab iya. Tolol! Nadira
tolol! Masa mau sih pacaran sama mantan
musuh, cinta monyet lagi?!
“Yey!” dia terlihat bahagia. Aku tersenyum seraya
mengutuki diriku sendiri.
Aku pikir, Dafa sudah cukup berkorban kepadaku dari dulu.
Aku juga harus membalasnya bukan? Aku juga suka dengannya saat dia bilang aku
mirip princess kalau ketawa,
***
Kelas tujuh, kelas delapan, aku masih berpacaran dengan
Dafa,dia baik, tidak membosankan. Hobinya membuat humor lucu walau terkadang
garing. Tapi lucu aja. Tetapi saat kelas sembilan, dia sedikit menjauh dariku,
sempat aku tanyakan kepadanya kenapa, dia tidak menjawab.
Tetapi aku tidak terlalu memikirkannya, Dafa mungkin
sibuk menjadi anggota OSIS. Kalau boleh aku beri tahu, aku sedang
dekat-dekatnya dengan Sulthan, ingat dia bukan? Orang yang aku bilang cinta
pertamaku, aku sudah tidak suka lagi sekarang, entah kenapa. Aku lebih suka
Dafa padahal wajah Sulthan lebih juara dari wajah Dafa yang pas-pasan.
“Nad, belum pulang?” Sulthan menghampiriku yang sedang
memainkan ponsel.
“Buka apa Nad?” tambahnya, basa-basi, pikirku.
“Dagelan,” jawabku.
“Linknya apa Nad?”
“Hmm bentar, aku kirim di Line aja ya,”
Aku mengetik URL ‘http://dagelan.co’ pada Sulthan.
“Makasih Nad,”
Aku dan Sulthan duduk berdua di kelas, aku sedang
menunggu Dafa pulang dari rapat OSIS, dan Sulthan? Entah.
“Seru ya Dagelan,” katanya menembus suasana sepi.
“Haha iya,” tawaku singkat. “Aku duluan ya,” aku pamit
kepada Sulthan ketika melihat Dafa lewat depan kelasku bersama seorang
perempuan.
“Daf?” heranku. “Siapa?” aku menatap perempuan itu.
“Bukan siapa-siapa,” jawabnya.
“Siapa?!” bentakku.
“Teman,”
“Aku mau putus Daf!” aku berlari keluar sekolah.
Tega! Daf! Tega! Kamu yang dulu suka mengejarku kini
berhenti dalam hati orang lain, aku yakin Daf, itu bukan sekedar teman. Aku
yakin Daf!
Esoknya, aku sangat malas berangkat sekolah, ingin muntah
ingat kejadian kemarin. Aku hendak masuk kelas namun terhenti ketika melihat
Dafa dan perempuan kemarin berjalan bersama. Terdengar teriakan, “Pasangan
baru, pajak dulu dong!”
Pasangan? Secepat itukah Daf? Tanpa alasan kamu pergi,
astaga! Pipiku memanas!
Sejak kejadian itu, aku dan Dafa menjauh, sangat menjauh.
Saat itu aku merasakan patah hati yang pertama kali. Membekas lama sekali, aku
tahu, mungkin kau pikir aku terlalu lebay, namun memang benar adanya, sakit!
Aku bercerita masalah itu kepada Sofia, sahabatku sejak
kelas tujuh. Katanya, aku tidak perlu memikirkan masalah itu. Aku harus fokus
karena Ujian Nasional akan diadakan sebentar lagi. Benar, aku cukup bodoh!
Untuk apa aku memikirkan masalah ini! Tidak berguna bukan?!
***
Waktu
memang cepat sekali ya, aku sudah SMA sekarang. Nilai yang memuaskan, coba saja
kalau aku memikirkan masalahku dengan Dafa, nilaiku pasti hancur! Dafa? Dia
sekolah di Surabaya sekarang, Mamanya memang orang Surabaya.
So you can keep me
Inside the pocket of you ripped
jeans
Dering
ponselku berbunyi pertanda telpon masuk.
“Halo?”
kataku.
“Nad,”
seorang laki-laki menyebut namaku.
“Siapa?”
“Dafa,”
aku membatu. Buat apa dia menelponku?
“Oh,”
“Maaf
ya, aku benar-benar salah Nad, kamu gak tahu alasanku kan?” kenapa dia langsung
ke inti sih? Gak basa-basi dulu?
“Sulthan
suka sama kamu,” dia menambahkan lagi.
“Terus?”
“Aku
putusin kamu biar Sulthan sama kamu, aku masih sayang sama kamu Nad, aku
serius,” perkataannya membuatku bergetar. “Nad?”
“Iya,”
jawabku.
“Maaf,”
katanya penuh penyesalan.
“Bulan
Desember aku pulang, aku mau kita temenan lagi, gak perlu pacaran,” dia
berbicara lagi.
“Iya,”
“Aku
tahu kamu pasti sakit kan saat itu? Aku tahu Nad, tahu!” dia berbicara keras.
“Iya
Daf,” hanya itu yang bisa aku ucapkan.
“Nad,”
“Iya,”
“Sukanya
aku buat nanti aja ya, kalau udah dewasa,” dia tertawa di telpon.
“Terserah,”
kali ini aku tidak bisa menahan tawaku karena dia mengulang perkataannya
beberapa tahun silam. Aku juga terharu ketika tahu alasannya karena dia tahu
Sulthan menyukaiku, dia pikir aku juga menyukai Sulthan, tapi tidak. Aku suka
dia, Dafa, kecoaku.
Saat
itu aku menghabiskan waktu untuk saling berbicara lewat telepon, bertukar cerita,
sudah lama aku tidak begini dengannya. Aku tidak tahu kalau Sulthan suka
padaku, aku sudah tidak suka lagi, namun Dafa memberitahuku agar menghargai
pengorbanan Sulthan seperti aku menghargai pengorbanannya.
***
Patah hati. Awalnya.
Kebahagiaan. Balasannya.
Tuhan memang serba bisa mengatur
segalanya, aku patah hati, bodoh! Itu hanya cinta monyet! Buat apa aku patah
hati? Tuhan memberitahu, menegurku, aku belum boleh untuk cinta-cinttan.
Tugasku untuk mengejar impian bukan pacaran! Hatiku masih rapuh! Dikit-dikit
sakit, alah! Lebay!
Aku
mengetik itu ke laptopku. Lucu saat aku membacanya berulang-ulang. Rasanya aku
ingin melupakan kejadian itu, kejadian dimana aku patah hati untuk pertama
kalinya, aku malu! Mengutuki diriku ini. Aku ingin tertawa kencang!
Patah
hati? Di umur tiga belas tahun? Hahahahaha... Sepertinya Bunda akan memarahiku
ketika tahu aku pernah pacaran di usia muda atau mungkin tertawa dengan kencang
sambil berkata, “Masa’ princess pacaran
sama kecoa? Masih kecil lagi,”